- Sejarah Perbankan di Indonesia
Sejarah perbankan
di Indonesia tidak
terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada
masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche
Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang
monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta
terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda.
Bank-bank yang ada itu antara lain.
- De Javasce NV.
- De Post Poar Bank.
- Hulp en Spaar Bank.
- De Algemenevolks Crediet Bank.
- Nederland Handles Maatscappi (NHM).
- Nationale Handles Bank (NHB).
- De Escompto Bank NV.
- Nederlansche Indische Handelsbank
Di samping itu,
terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing seperti
dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank
tersebut antara lain:
- NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
- Bank Nasional indonesia.
- Bank Abuan Saudagar.
- NV Bank Boemi.
- The Chartered Bank of India, Australia and China
- Hongkong & Shanghai Banking Corporation
- The Yokohama Species Bank.
- The Matsui Bank.
- The Bank of China.
- Batavia Bank.
Di zaman kemerdekaan,
perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank
Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman
awal kemerdekaan antara lain:
- NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung. Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI '46.
- Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
- Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
- Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
- Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
- Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
- NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
- Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
- Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Di Indonesia, praktek
perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk
bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syariah, dan
juga Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS).
Masing-masing bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan fungsinya.
Doktrin Bank Berjuang.
- Bank Pemerintah
Melalui Surat Keputusan
Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961 yang melarang pengumuman dan
penerbitan angka-angka statistik moneter/perbankan, maka antara tahun
1960-1965, Bank Indonesia tidak menerbitkan laporan tahunan, termasuk data
statistik mengenai kliring dan perhitungan sentral.
Pada 5 Juli 1964, atas
dasar pertimbangan politik untuk mempermudah komando di bidang perbankan untuk
menunjang Pembangunan
Semesta Berencana, selanjutnya pada tahun 1965 pemerintah
menetapkan kebijakan untuk mengintegrasikan seluruh bank-bank pemerintah ke
dalam satu bank dengan nama Bank Negara Indonesia, prakarsa
pengintegrasian bank pemerintah ini berasal dari ide Jusuf Muda Dalam, yang
saat itu menjabat sebagai Menteri Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia - yang
baru diangkat dari jabatan semula Presiden Direktur BNI - dan disetujui oleh
Presiden Soekarno. Ide dasarnya adalah menjadikan perbankan sebagai alat
revolusi dengan mottoBank Berdjoang di bawah pimpinan Pemimpin
Besar Revolusi. Nama Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank
tunggal, diusulkan oleh Jusuf Muda Dalam sendiri. Hasilnya adalah lahirnya
struktur baru Bank Berdjoang ini menjadikan :
- Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit I;
- Bank Koperasi Tani dan Nelayan serta Bank Eksim Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit II.
- Bank Negara Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit III;
- Bank Umum Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan
- Bank Tabungan Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit V.
Akan tetapi tidak semua
bank pemerintah berhasil diintegrasikan ke dalam Bank
Berdjoang yakni Bank Dagang Negara (BDN) dan Bapindo.
Luputnya BDN dari proses pengintegrasian ini terutama karena Presiden Direktur
BDN J.D. Massie saat itu
menjabat sebagai Menteri Penertiban Bank-bank Swasta Nasional yang tentu
mempunyai cukup punya pengaruh untuk berkeberatan atas penyatuan BDN dengan
bank-bank lainnya. Massie beralasan bahwa kebijakan ini akan membingungkan
koresponden bank di luar negeri untuk penyelesaian L/C ekspor maupun impor
karena nama bank yang sama. Sementara, Bapindo tidak terintegrasi ke dalam Bank
Berjuang karena bank ini dibawah Dewan Pembangunan yang diketuai Menteri
Pertama Urusan Pembangunan dengan anggota-anggota Menteri Keuangan, yang juga
Ketua Dewan Pengawas Bapindo, dan Gubernur Bank Indonesia sebagai
anggota.Dengan demikian, melalui kedudukannya itu, pengaruh Bapindo cukup kuat
untuk menghalangi terintegrasi ke dalam BNI.
- Bank Swasta
Pada tahun 1965 pemerintah
hendak mengabungkan seluruh bank swasta atau bank asing dalam Bank
Pembangunan Swasta sebagai satu-satunya bank penghimpun dan penyalur dari
semua dana-dana progresif di sektor swasta dan alat-alat yang dapat
dipergunakan Pembangunan
Semesta Berencana dan rencana-rencana lain yang ditentukan oleh
Presiden Republik Indonesia.
- Sejarah Bank Pemerintah
Sebagaimana diketahui
bahwa Indonesia mengenal
dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh
karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang
menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun
bank swasta nasional.
Pada 1958,
pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda mulai dengan
Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah
menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya
pada 1960 secara
berturut-turut Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche
Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan
kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII). Berikut ini akan dijelaskan
secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:
- Bank Sentral
Bank Sentral di
Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun
1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini sebelumnya berasal
dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.
- Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari
De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal
dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural
dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:
1.
Yang membidangi rural menjadi Bank
Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
2.
Yang membidangi Exim dengan UU No 22
Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
- Bank Negara Indonesia (BNI '46)
Bank ini menjalani BNI
Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia '46.
- Bank Dagang Negara(BDN)
BDN berasal dari
Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP
(Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968
menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah
yangberada diluar Bank Negara Indonesia Unit.
- Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari
Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank,
selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU
No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
- Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
- Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di
daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962.
- Bank Tabungan Negara (BTN)
BTN berasal dari De
Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya
menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara
dengan UU No 20 Tahun 1968.
Bank Mandiri merupakan
hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank
Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim).
Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.
- Sejarah BI
- Kelembagaan
Sejarah kelembagaan
Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang
Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam
melakukan tugasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan
Moneter, Direksi, dan Dewan Penasehat. Di tangan Dewan Moneter inilah,
kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada pada pemerintah.
Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde baru,
landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral.
Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus
membantu pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang
ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter. Dengan demikian, Bank
Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah orde baru berlalu,
Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No. 23/1999 tentang
Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak saat itu, Bank
Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga
negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau
pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan
pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
- Moneter
Setelah berdirinya Bank
Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan
Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya
perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter
adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan
impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan
negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah.
Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan
moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah
memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi
yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan
moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian,
lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat
struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun
1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah,
sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak
terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga
beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent
(LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian
semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang
ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank
Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai
landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar
negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui
Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Tujuan Utama Bank Indonesia di dirikan adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk itu diperlukan tiga
pilar utama sehingga tujuan tersebut bisa tercapai.
- Tiga Pilar Utama
- Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
- Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
- Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia.
Saat kembali menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950,
struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank
asing masih merajai kegiatan perbankan nasional, sementara peranan bank-bank
nasional dalam negeri masih terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya
Bank Indonesia pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan bank-bank belum
terselenggara. De Javasche Bank adalah bank asing pertama yang dinasionalisasi
dan kemudian menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa tahun
kemudian, seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan
nasionalisasi atas bank-bank milik Belanda. Berikutnya, sistem ekonomi
terpimpin telah membawa bank-bank pemerintah kepada sistem bank tunggal yang
tidak bertahan lama. Orde baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan
pimpinan, yaitu melalui pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia
dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan
penertiban bank swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta
nasional, karena jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas
bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu,
Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas
Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit
Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia
(KMI), Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya.
Dengan langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar
dalam pembangunan ekonomi di luar dana APBN.
Industri perbankan
Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur
oleh pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif
perbankan. Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada
bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan
deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat,
efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik dari
kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan
dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu
kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan
pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada periode
selanjutnya, perbankan nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit
macet. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan
terutama untuk sektor properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat
inflasi mulai bergerak naik.
Ketika krisis moneter 1997 melanda,
struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997,
dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini
mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun
mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan
yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi
dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
- Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran di
Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya
mengeluarkan uang kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah
berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima
rupiah. Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas
bertanda tahun 1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No.
13/1968, BI mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam
sebagai alat pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu,
pemerintah tidak lagi menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam
pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI
mengeluarkan uang dalam pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999). Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang
pecahan besar seiring dengan perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat
itu.
Sementara itu, dalam
bidang pembayaran non tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri
sebagai kantor perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank
sentral, sejak awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan
sistem pembayaran giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai
sistem pembayaran giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai
dengan 1990-an, pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi
pembayaran non tunai juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI mulai
menggunakan sistem yang lebih efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi
pembayaran non tunai. Berbagai sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL)
dengan basis personal computer dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi
dan Terintegrasi (SAKTI) dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan
dan disempurnakan. Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem
elektronik seperti BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time
Gross Settlement (RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring
warkat antar wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities
Settlement System (S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non
tunai di Indonesia.
- Gubernur Bank Indonesia (1953 – sekarang)
1. Mr.
Sjafruddin Prawiranegara Masa Jabatan : 1953 – 1958
2. Mr.
Loekman Hakim Masa Jabatan : 1958 – 1959
3. Mr.
Soetikno Slamet Masa Jabatan : 1959 – 1960
4. Mr.
Soemarno Masa Jabatan : 1960 – 1963
5. T.
Jusuf Muda Dalam Masa Jabatan : 1963 – 1966
6. Radius
Prawiro Masa Jabatan : 1966 – 1973
7. Rachmat
Saleh Masa Jabatan : 1973 – 1983
8. Arifin
Siregar Masa Jabatan : 1983 – 1988
9. Adrianus
Mooy Masa Jabatan : 1988 – 1993
10. J.
Soedradjad Djiwandono Masa Jabatan : 1993 – 1998
11. Sjahril
Sabirin Masa Jabatan : 1998 – 2003
12. Burhanuddin
Abdullah Masa Jabatan : 2003 – sekarang.
0 comments:
Posting Komentar