Jumat, 25 Maret 2011

Softskill Part II

Studi Kasus..

Aktivitas Kemitraan Masyarakat PDF Print E-mail
STUDI KASUS - KEHUTANAN
Upaya Penyelamatan Hutan Lindung
Oleh:Kemal Taruc-Ecolink

Sore hari, sebuah mobil Ford Ranger berwarna hitam, badan dan roda-rodanya diselimuti oleh lumpur dan tanah berwarna kuning kecoklatan, berhenti. A’am turun dari mobilnya kemudian berjalan memasuki garasi rumahnya, dengan ponsel yang masih menggantung di antara bahu kanan dan lehernya. Setelah mendengar pesan terakhir yang diterimanya.
Ponsel itu dimatikan. Pesan itu berujar, “Bertindaklah bijak, jangan mengguncang-guncang rumah sendiri, nanti akan terlalu banyak orang yang jatuh.” A’am melepaskan sepatunya, dan masuk ke dalam rumahnya.
Hari itu hari biasa, seperti hari-hari lainnya dimana ia melakukan perjalanan inspeksi ke hutan. Sebagai  Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, ia telah melakukan banyak sekali inspeksi di wilayah kerjanya. Tetapi sekali ini, ia sangat terkejut ketika dengan mobil Ford barunya ia mencoba rute baru dengan mendaki sebuah bukit kecil, ia mendapati ada tumpukan kayu log setinggi 3 meter dan menutupi area seluas 3 kali luas area lapangan bola. Ia mengenali dengan pasti bahwa kayu-kayu log tersebut diambil dari tegakan tua hutan primer, dan hanya bisa datang dari satu sumber, hutan lindung Bukit Lumut. Satu-satunya hutan tropis yang masih utuh di kabupaten ini.

A’am tidak habis mengerti, mengapa perusahaan yang sudah sangat dikenalinya dan sudah membuka usaha di Kabupaten Wanaraja begitu lama, ternyata juga melakukan usaha ilegal -seperti begitu banyak usaha penebangan kayu lainnya di Indonesia- dengan menebang pohon dari hutan yang dilindungi. A’am begitu kecewa, ia merasa seperti ditusuk dari belakang. Ia seharusnya tahu, karena ia bertemu dengan pimpinan perusahaan secara teratur dan hal ini tidak pernah muncul dalam pembicaraan. “Apakah memang mereka harus melakukan kegiatan kriminal seperti ini untuk tetap hidup usahanya, dan lalu apa yang akan terjadi pada Wanaraja jika kegiatan seperti ini tetap berlangsung?” Wanaraja dikenali sebagai salah satu dari sedikit kabupaten yang masih memiliki hutan tropis primer di kawasan yang dilindungi. Kabupaten Wanaraja masih memiliki sepertiga dari hutan tropisnya yang asli. Kabupaten-kabupaten lain yang bersebelahan tidak ada lagi yang memiliki hutan yang telah habis ditebang pada jaman keemasan industri kayu pada tahun 1970-80an

“Ini harus dihentikan, tetapi bagaimana?” Ia tersenyum pahit. A’am tahu dengan pasti bahwa pesan di ponselnya adalah sangat serius. Ia harus bertindak “bijaksana”, karena begitu banyak nama besar yang terlibat. A’am menanggalkan sepatunya, membaringkan diri di kursi panjang dan menutup matanya. Pikirannya melayang, ia menyadari bahwa menjaga dan mengelola hutan bukanlah hal yang mudah dilakukan.
  • Penduduk Asli Penyayang Hutan
A’am dilahirkan dan dibesarkan dengan dikelilingi oleh rimba tropis. Setelah masa kanak-kanak di lingkungan hutan, ia melanjutkan sekolah menengahnya di ibukota propinsi, kemudian melanjutkan ke Fakultas Kehutanan di universitas negeri setempat. Gelar kesarjanaan diperolehnya pada tahun 1982, pada masa jaya industri perkayuan, sementara seruan-seruan peringatan dari pencinta lingkungan baru mulai terdengar.

Ayah A’am adalah pegawai pemerintah daerah Propinsi. Ia merupakan satu dari sedikit staf Pemda yang menguasai bahasa Belanda sehingga ia ditugaskan untuk mengelola arsip-arsip Propinsi, termasuk dokumen lama tentang budaya setempat yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dengan latar belakang ayahnya tersebut, A’am dibesarkan dalam lingkungan yang relatif berbeda dengan anak­anak setempat yang lain. Ia mengetahui dari cerita-cerita ayahnya tentang kekayaan budaya setempat dan lingkungan dari pulaunya. Ia juga bertemu dengan banyak orang – ilmuwan terkemuka dan mahasiswa dari manca negara yang meneliti budaya setempat yang menemui ayahnya untuk membaca arsip peninggalan Belanda.

Pada jaman itu tidak banyak pejabat setempat yang bergelar sarjana. Kebanyakan dari pejabat berasal dari kelompok sosial yang sama, atau dari kota yang sama dan memiliki hubungan persaudaraan, atau belajar pada sekolah yang sama. Bagi A’am ini merupakan persoalan, karena akan menciptakan kesulitan untuk bekerja secara profesional dan adil. Begitu banyak godaan karena banyak yang meminta fasilitas pemerintah dalam melakukan usaha berdasarkan kekerabatan dan pertemanan. Pada waktu itu, tidak banyak usaha lain kecuali penebangan dan logging, yang hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan ijin konsesi dari pemerintah. Setelah lisensi diperoleh, biasanya dikontrakkan atau “dijual” kepada kontraktor yang telah memiliki modal dan kemampuan untuk menjalankan bisnis perkayuan: modal kerja yang besar, peralatan berat dan kilang penggergajian serta jaringan pemasaran. Tanpa itu, lisensi hanyalah lembaran kertas saja.

Kebanyakan penduduk setempat tidak memiliki modal yang cukup, sementara pengusaha­pengusaha Tionghoa setempat yang memiliki kemitraan dengan perusahaan-perusahaan asing dari Malaysia, Korea Selatan atau Filipina, biasanya merekalah yang menjadi pengusaha yang menjalankan bisnis perkayuan. Demikian pula, perusahaan yang ditemukannya melakukan penebangan pada hutan lindung, adalah perusahaan Tionghoa setempat yang telah melakukan usaha di Propinsi lebih dari sepuluh tahun.

Karena itu, ketika A’am memperoleh tawaran untuk ditempatkan di Kabupaten yang bukan tempat kelahirannya, ia bersemangat untuk menerimanya. Ia berpikir bahwa akan jauh lebih mudah baginya untuk bekerja secara profesional dan tidak terbebani oleh hubungan kekerabatan. Di Wanaraja ia memulai karirnya sebagai pegawai setempat di Dinas Kehutanan untuk mengawasi kegiatan perusahaan penebangan kayu. Sudah menjadi bagian dari kehidupannya untuk melintasi rimba yang lebat dan tinggal di pos lapangan berhari-hari, atau tinggal di perkampungan penduduk asli di hutan. Bagi A’am, rimba tidak hanya tempatnya bekerja, tetapi juga kehidupannya dan budayanya. Ia menikah dengan putri kepala suku dari desa yang sering dikunjunginya. Dengan 2 anak, keluarganya tinggal di kota Kabupaten dengan sering mengunjungi kerabat keluarga yang tinggal di desa.

Tidak heran bahwa A’am sangat kecewa ketika ia telah agak terlambat untuk menyita kayu-kayu glondongan curian tersebut. Ia seharusnya telah mencegah, kalau saja ia tahu bahwa perusahaan itu melakukan penebangan di hutan lindung di Bukit Lumut di luar wilayah konsesi yang dimiliki perusahaan. Ia merasa sebagai kesalahannya, karena tidak memeriksa lebih jauh lagi. Dengan mobil barunya, ia sekarang dapat masuk lebih jauh lagi ke hutan untuk mencegah tindakan pencurian seperti itu. Akan tetapi, tanpa dukungan pejabat setempat yang lain, sebenarnya perusahaan itu tidak mungkin akan berani melakukannya. Dering telpon yang diterima A’am adalah bukti bahwa kepala Dinas yang melakukan pengawasan juga ikut serta “mendukung”. Dapat dimengerti, bahwa perusahaan itu tidak pernah memberitahukannya, karena hanya akan menimbulkan salah pengertian dan perseteruan di antara pejabat-pejabat setempat. Sementara pengusaha Tionghoa yang melakukan penebangan dengan mudah dapat menjadi kambing hitamnya.

**Referensi :
http://www.forplid.net/studi-kasus/15-kehutanan-kehutanan-/129-aktivitas-kemitraan-masyarakat.html

0 comments:

 

catatan akhir semester Template by Ipietoon Cute Blog Design